Sanksi dalam konteks hukum merupakan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan. Secara umum, hukum mengukur kegiatan-kegiatan etika yang kebetulan selaras dengan aturan hukum. Sanksi hukum jauh lebih berat dan mengikat karena memiliki kekuatan hukum. Semakin berat kesalahan yang dilakukan oleh sesorang, maka semakin berat pula sanksi yang akan diterimanya.
Sanksi sosial tidak berupa tulisan hitam diatas putih dan seringkali bersifat implisit. Sanksi sosial terkadang mulai muncul ditataran kerabat/tetangga terdekat, namun jika seseorang sudah melakukan berbagai kesalahan yang diulang sekian lama, maka sanksi sosial ini akan semakin meruncing. Pelaku akan mendapat sanksi sosial dari kelompok terkecil yaitu keluarga. Idealnya keluarga akan menjadi tameng untuk si pembuat kesalahan, namun karena keluarga sudah kecewa terhadap sikap dan tindakan yang dilakukan si pemilik salah, maka keluarga pun akan ikut menjauh bahkan terkadang menjadi menyerang.
Contoh kasus pelanggaran etika dengan sanksi hukum :
1. Pembajakan software atau perangkat lunak
Pembajakan perangkat lunak adalah penyalinan atau distribusi perangkat lunak secara ilegal atau tidak sah. Biasanya sebuah program atau aplikasi hanya memberikan izin untuk satu pengguna dan satu komputer saja. Dengan membeli perangkat lunak, seseorang menjadi pengguna berlisensi atau berizin dan bukan pemilik. Wikipedia
CNN Indonesia menulis bahwa hasil temuan Microsoft lewat studi 'Test Purchase Sweep', mencatat 9 dari 10 komputer yang dijual di Indonesia berisi peranti lunak (software) bajakan. Studi ini dilakukan melalui percobaan pembelian 166 komputer di sembilan negara di Asia seperti Indonesia, India, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Undang-undang yang mengatur pembajakan software, diantaranya :
- Pasal 27 UU ITE Tahun 2008: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp .1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
- Pasal 30 Undang-Undang ITE Tahun 2008 ayat 3: Setiap orang yang snegaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer dan atau system elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengaman (cracking, hacking, illegal access). dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) dan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
- Pasal 33 Undang-Undang ITE Tahun 2008: Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggu sistem elektronik dan atau mengakibatkan system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
- Pasal 34 Undang-Undang ITE Tahun 2008 : Setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan atau memiliki.
Penghinaan atau defamation secara harafiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. Melihat pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat kita lihat bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan, yakni:
- Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Menurut
R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu
harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan
perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui
oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu
perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan
sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan
yang memalukan.
- Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Menurut
R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP,
apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar,
maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang
dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan
dilakukan dengan surat atau gambar.
- Fitnah (Pasal 311 KUHP)
Merujuk
pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami
sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak
masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila
tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa
untuk membela diri. Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan
pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh
terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri,
jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).
Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).
Jadi,
yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista
atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk
membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau
membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak
benar.
- Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan
seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang
sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315 KUHP,
sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan
dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan
mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk
Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
Penghinaan
ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo,
penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya,
memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala
orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan,
dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan
tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.
- Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
R. Sugandhi, S.H. dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya (hal. 337) memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
-
memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
-
menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri sehingga kehormatan atau nama baik orang itu terserang.
- Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)
Menurut R. Sugandhi, S.H.,
terkait Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang diancam hukuman
dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu
perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam
suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu
barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar
orang itu dituduh melakukan kejahatan.
Contoh kasus pelanggaran etika dengan sanksi sosial :
Belum lama ini beredar dan viral di masyarakat, sebuah video tentang beberapa mahasiswa yang melakukan perundungan kepada seorang mahasiswa disabilitas. Pihak kampus mengatakan bahwa mereka telah memberikan hukuman berupa penangguhan masa kuliah selama 12 bulan.
Perwakilan komunitas disabilitas memberikan sanksi kerja sosial kepada para pelaku. Sanksi kerja sosial yang diberikan contohnya seperti memaksa para pelaku untuk membaca buku secara paksa. Buku yang dibaca harus bertema tentang penyandang disabilitas dan lain sebagainya.